Bela Negeri Untuk Demokrasi Dalam Pandemi

0
761
Listen to this article

BANDAR LAMPUNG – Indonesia Maju, itulah salah satu tage line thema peringatan 75 Tahun Dirgahayu Kemerdekaan RI, 17 Agustus 2020, minus 114 hari dari 9 Desember 2020, hari yang ditetapkan sebagai hari pencoblosan untuk Pilkada serentak 2020 di 270 daerah se Indonesia.

Menurut kamus besar bahasa Indonesia (kbbi), diksi maju diartikan: berjalan (bergerak) ke muka; telah mencapai atau berada pada tingkat peradaban yang tinggi. Ada beberapa arti lain yang tertuang dalam kbbi tersebut, namun dalam tulisan ini lebih relevan untuk mengambil arti dari kata maju “berjalan bergerak, telah (untuk) mencapai atau berada pada tingkatan peradaban yang (lebih) tinggi. Penambahan diksi untuk dan lebih tersebut untuk menggambarkan upaya dan langkah sebagai proses untuk maju, setidaknya sebagai sebuah harapan lebih maju dari rangkaian proses yang dilakukan, dalam hal ini kemajuan demokrasi elektoral Pilkada.

Pilkada serentak 2020 yang merupakan grand design (rancang besar) demokrasi yang direncanakan oleh para pembuat kebijakan negeri ini, ditujukan sebagai salah satu rangcang demokrasi guna mengefisienkan bentuk dan cara berdemokrasi bangsa kita utamanya dalam menentukan Kepala Daerah. Sayangnya, pandemi covid 19 sempat menghadang dan selanjutnya menjadi tantangan, dinamika dan bahkan kekhususan karena didalam penerapan demokrasi elektoral tersebut harus menerapkan protokol kesehatan sebagai upaya untuk mencegah dan mengeliminir penyebaran covid 19 yang dapat berdampak buruk bagi kesehatan dan bahkan menimbulkan korban jiwa. Pilkada 2020 harus berjalan, tapi jangan menjadi cluster penyebaran covid 19, demikian pesan yang bisa ditangkap dari keinginan pemerintah.

 Memaknai 75 Tahun Kemerdekaan

Momentum Pilkada serentak 2020 ini bersamaan dengan 75 tahun kita sebagai bangsa memperingati kemerdekaan yang dengan susah payah dahulu dicapai oleh para pejuang pahlawan bangsa, dan saat ini kita sebagai anak bangsa penerus cita-cita perjuangan bangsa: untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan, sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945, untuk mewarnai dengan mengisi kemajuan demokrasi dengan patut dan sebaik-baiknya.

Format demokrasi Pilkada kita sejatinya terdiri dan meliputi unsur: personifikasi vigur calon Kepala Daerah (baca: dan Wakil Kepala Daerah), Partai Politik (pengurus dari setiap jenjang tingkatan), penyelanggara Pilkada, pemerintah (daerah), masyarakat (partisipasi publik), aparat keamanan, dan unsur/ lembaga masyarakat lainnya. Harmonisasi dari unsur-unsur itulah yang kemudian menjadi sebuah sajian yang menampilkan orkresta bagi tampilan demokrasi elektoral kita saat ini. Bila tampilan itu menjadi sajian yang menarik dan berkualitas (menurut persepsi publik) maka itulah ukuran kemajuan demokrasi elektoral Pilkada kita, pun demikian juga sebaliknya. Dari situlah dapat direfleksikan tingkat bela kita sebagai anak bangsa kepada Negeri dalam konteks pembangunan demokrasi elektoral ini. Bila dalam setiap tahapan Pilkada menimbulkan persepsi (relatif) positif dari publik dalam pengertian mengandung nilai-nilai terukur, transparan dan akuntable, maka itu jua-lah menjadi cermin tingkat sumbangsih para pihak yang terlibat didalam proses tersebut, yang tentu dipahami sebagai bentuk kontribusi positip bagi kemajuan demokrasi elektoral kita. Demikian juga sebaliknya bila kontribusi para pihak yang terlibat dalam tahapan Pilkada sangat minim, akan tervisualisasi dari proses yang gelap dan samar-samar, hingga menghasilkan sebuah tahapan yang terkesan terdapat adegan “akrobatik politik” didalamnya, seolah ada “kejutan politik” dari sebuah proses tahapan dimaksud.

Baca Juga Berita  Bawaslu Putuskan Menteri Desa Melanggar Aturan Kampanye

Ambil satu contoh tahapan dalam proses demokrasi elektoral Pilkada, yaitu apa yang disebut dengan tahapan candidasi yang merupakan proses pencalonan calon Kepala Daerah untuk secara legal formal dapat memenuhi syarat regulasi yang ditetapkan oleh UU maupun penyelenggara (PKPU) guna didaftarkan dan ditetapkan secara sah sebagai calon Kepala Daerah yang akan mengikuti kontestasi untuk dipilih oleh rakyat pada saat pencoblosan hak suara baik sebagai calon perseorangan (independent) maupun calon yang diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi syarat untuk mengusung calon. Seyogyanya proses candidasi adalah sebuah tahapan “penjaringan” secara terbuka dan bertanggungjawab yang didalamnya ada pesan dan misi menjajaki, memperkenalkan sekaligus “berdialog” kepada publik tentang kelebihan dan atau sisi kekurangan dari vigur calon yang akan diajukan dalam kontestasi Pilkada, sehingga calon yang akan diusung adalah vigur yang personifikasinya termasuk track record nya bisa diukur atau diketahui oleh publik secara terbuka, sehingga mereka dirasa “pantas” untuk dipilih sebagai calon Kepala Daerah, proses ini untuk mengeliminir adanya fenomena istilah “kucing dalam karung”. Sehingga ketika sang calon kelak terpilih sebagai Kepala Daerah, ada bekal keyakinan bahwa kepemimpinannya akan membawa kebaikan dan kemajuan bagi daerahnya.

Ukuran wajar dan kepatutan menjadi tolak ukur dari sebuah proses candidasi yang didalamnya melibatkan calon Kepala Daerah, masyarakat yang dinyatakan memberikan dukungan (bagi calon perseorangan) dan pihak penyelenggara sebagi pihak yang mempunyai otoritas melakukan verifikasi administrasi dan vaktual, sampai sang calon dinyatakan sah dan dapat ditetapkan sebagai calon yang akan mengikuti kontestasi. Demikian juga apabila sang calon diajukan/diusung oleh parpol atau gabungan parpol, unsur masyarakat digantikan oleh kewenangan partai politik atau gabungan parpol, yang keseluruhan prose situ diawasi oleh sebuah badan pengawasan pemilu (Bawaslu).

Kontribusi para unsur yang terlibat didalam akan sangat berpengaruh terhadap visualisasi yang digambarkan ketengah-tengah ruang publik, apabila semua berjalan sesuai dengan ketentuan hampir dapat dipastikan situasi keadaan berjalan “kondusif” karena didalamnya terkandung proses-proses yang transparan, dapat dipertanggungjawabkan, sesuai dengan aturan, tidak ada upaya kecurangan atau terdapat aroma tipu daya dengan menggunakan uang dan lain sebagainya.

Proses politik yang demikian tentu diharapkan menampilkan konfigurasi sebuah proses candisasi yang berkualitas dengan menghasilkan calon yang juga terukur (kepatutannya), bukankah adigium mengatakan, proses tidak akan akan ingkar terhadap hasil. Ketika dibabak akhir tahapan proses candidasi, publik disajikan oleh berbagai info yang menyeruak keruang publik tentang hal-hal baru, tidak muncul sebelumnya atau setidaknya tidak diduga sebelumnya, atau adanya langkah “short cut politic” (terobosan politik) dan bahkan ada yang seolah “mengalami kecelakaan politik” sehingga cidera dan menjadi korban (atau dikorbankan) dari sebuah proses politik, maka persepsi masyarakat dapat menilai “it must be something wrong” didalam proses politik itu.

Sudah menjadi pendapat umum dilingkungan dunia politik, bahwa politik itu dinamis, setiap saat dapat berubah, dalam rangka antisipasi perubahan itu pembuat kebijakan terkadang melakukan trobosan politik, lobby politik, manuver politik dan lain sebagainya, yang keseluruhan itu dianggap lumrah, wajar dan bahkan harus dilakukan oleh para pelaku politik untuk menghasilkan keputusan politik yang seirama dengan kepentingan politiknya, meskipun hal tersebut sesuatu yang tidak diduga sebelumnya, sehingga terkesan terjadi akrobat politik.

Baca Juga Berita  Jelang HUT RI ke 74 Warga Pulung Kencana   Bangun Gapura Bambu

Ibarat dua sisi mata uang dalam sebuah proses politik (due presumption of a politic process), bila pada satu sisi menjadi domain para pelaku politik, disisi lainnya menjadi domain publik untuk menilai dan mempersepsikannya. Tentu saja pada tataran nilai dan idea, sepatutnya tidak ada jarak (gap) antara perilaku politik para pelaku politik dengan persepsi umum masyarakat atas sebuah keputusan sebuah proses politik. Namun ketika antara kedua sisi tersebut terdapat jarak, sekiranya dapat dipastikan ada ketidakpatutan yang terjadi didalam proses tersebut, atau setidaknya terjadi perbedaan persepsi antara pelaku politik dengan publik secara umum.

Mengkomunikasikan kepada publik atas suatu keputusan proses politik adalah sebuah keniscayaan yang seyogyanya dilakukan oleh partai politik, karena didalamnya terdapat misi pendidikan politik yang menjadi tugas dan domainnya partai politik. Publik berhak mendapat access informasi tentang keputusan partai politik yang berkaitan dengan publik, seperti keputusan mengapa partainya memberikan dukungan kepada calon kepala daerah tertentu (tentu saja bukan hal-hal yang bersifat tehnis politik). Dalam dunia pendidikan kerap kita mendengar pepatah, “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”, bahwa publik akan mengikuti (bahkan lebih) dari pendidikan politik yang diajarkan oleh partai politik. Demikian asumsi yang sama halnya terjadi pada lapangan candidasi dari jalur perseorangan (domain parpol digantikan oleh penyelenggara).

Penulis tidaklah dalam kapasitas menilai, mengukur apalagi menyalahkan salah satu unsur tertentu dalam dalam sebuah proses politik candidasi dalam Pilkada. Konfigurasi keputusan politik yang ideal serta secara mudah bisa dipahami oleh publik sebagai “pemegang saham” terbesar dari proses demokrasi elektoral Pilkada, apabila didalamnya terkandung nilai-nilai kepatutan, kebenaran, kejujuran yang dirasakan relatif adil bagi masyarakat. Demikian juga sebaliknya, publik yang cerdas dalam menilai sebuah proses dan keputusan politik sebagai dampak dari pendidikan politik yang dilakukan oleh partai politik akan sangat berguna dalam kemajuan pembanguan demokrasi itu sendiri.

Pada tataran inilah, kita dapat bercermin tentang keikut sertaan masing-masing diantara kita dalam berkontribusi mem-bela negeri untuk kemajuan demokrasi bangsa ini apalagi disaat negeri ini sedang dalam pandemi. Jangan terburu-buru mengklaim bahwa diri kita sudah berkontribusi membela negeri, padahal disatu sisi seharusnya kita tertunduk malu karena perilaku kita dalam proses-proses demokrasi itu sendiri masih belum memberikan hal yang positip untuk majunya demokrasi kita. Pada mu Negeri kami berjanji, bagimu Negeri jiwa raga kami, Dirgahayu 75 Kemerdekaan Republik Indonesia. Merdeka !!!.

Penulis: Wendy Melfa                                                                                                                   Pengasuh RuDem (Ruang Demokrasi)

Editor : M.A. Saidi. SE

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here