Demokrasi Dalam Resesi Ekonomi

0
938
Listen to this article

BANDAR LAMPUNG – Pasca dideklarasikan wabah corona virus diseases (covid 19) sebagai pandemi tentu tidak bisa dipungkiri dampak yang masih kita rasakan, bukannya saja pada lapangan kesehatan, tetapi juga sosial dan ekonomi. Dalam upaya pemerintah mencegah dan meminimalisir penyebaran covid 19, berbagai sektor kegiatan dan aktivitas masyarakat dan lembaga termasuk badan usaha yang harus menyesuaikan diri dan menerapkan protokol kesehatan.

Hal itu secara langsung ataupun tidak langsung telah menyebabkan kelambatan pertumbuhan ekonomi dan kontraksi yang cukup signifikan hingga pertumbuhan ekonomi menurun tajam. Karena pandemi ini bukan hanya melanda Indonesia tetapi juga dunia, maka kelambatan pertumbuhan dan kontraksi ekonomi tersebut juga melanda dunia, bahkan beberapa negara di dunia termasuk yang ada di kawasan asia timur dan pasifik termasuk asia tenggara telah menyatakan negaranya memasuki resesi ekonomi.

Menurut ahli ekonomi, Indonesia saat ini sedang berjuang keras agar dapat terhindar dari ancaman resesi ekonomi yang semakin nyata terlihat setelah pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II tahun 2020 menunjukkan angka minus 5,32 %. Para ekonom pun menilai resesi tak terelakkan, yang artinya kontraksi ekonomi di kuartal III bakal jadi kenyataan (detikfinance, 9/8/2020).

Kontraksi ekonomi tentu saja akan sangat berpengaruh terhadap kondisi keuangan pribadi masyarakat yang terkena dampak langsung maupun tidak langsung resesi ekonomi seperti misalnya akibat pelambatan pertumbuhan ekonomi, terjadi pengurangan karyawan secara besar-besaran (PHK), pengusaha yang mengurangi atau bahkan menghentikan kegiatan usahanya akibat menurun omzet yang disebabkan menurunnya daya beli masyarakat, penurunan arus barang dan manusia juga berdampak langsung pada pergerakan pertumbuhan ekonomi dan lain sebagainya. Hal ini dapat secara langsung menekan kondisi keuangan pribadi masyarakat, dan untuk itu disarankan masyarakat mencadangkan dan menyiapkan uang tunai atau dana likuid (mudah diuangkan) sebagai upaya mempersiapkan diri. Menurut ekonom INDEF, Bhima Yudhistina, dana darurat yang berbentuk tunai atau mudah diakses memang dibutuhkan untuk menghadapi resesi ekonomi, dana darurat tersebut setidaknya mencapai 30 % dari penghasilan bulanan saat terjadinya resesi (detikcom, 8/8/2020).

Dan hal yang semakin membuat ketidakpastian keadaan ini adalah, belum ada satupun ahli kesehatan di dunia bahkan badan kesehatan dunia (WHO) yang berani memperkirakan sampai kapan pandemi covid 19 ini akan berakhir, padahal pandemi covid 19 inilah yang menjadi biang keladi terjadinya resesi ekonomi dunia. Artinya apa, resesi ekonomi inipun belum dapat diprediksi akan berakhir sampai kapan, Lahaula walaquwwata Illabillahil aliyil adzim.

Sementara seorang Bill gates, milyuner dunia pendiri Microsoft yang mendanai pengembangan beberapa vaksin Corona merasa optimis dengan perkembangan terbaru, baik inovasi perawatan maupun vaksin, pandemi ini seharusnya bisa diakhiri pada akhir 2021 bagi negara-negara kaya, dan bagi dunia pada akhir 2022 (detikinet, 9/8/2020), …. Wallahualam.

 Pilkada Menjadi Sesuatu Yang Mahal

Pilkada langsung yang dilaksanakan sejak tahun 2005 secara terus menerus diperbaiki untuk ditingkatkan kualitas pelaksanaannya termasuk upaya-upaya mengefisiensikan penggunaan anggaran dalam pelaksanaan demokrasi guna memilih Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing beserta Wakilnya untuk menjadi kepala pemerintahan di daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota seluruh Indonesia. Pertimbangan efisiensi anggaran menjadi alasan paling mendasar dilaksanakannya Pilkada secara serentak terhadap daerah-daerah yang periode masa jabatan Kepala Daerah berakhir dalam waktu yang berdekatan, dan melalui UU 10/16, Tahun 2020 ini akan dilaksanakan Pilkada untuk 270 daerah.

Baca Juga Berita  Kepala Dinas PPPA Tulang Bawang : Pahlawanku Sepanjang Masa

Pilkada serentak yang direncanakan September 2020 sempat tertunda karena wabah pandemi covid 19 tersebut, akhirnya ditetapkan untuk dilanjutkan dan hari pencoblosannya ditentukan pada 9 Desember 2020 yang akan datang. Berbeda dengan alasan belum dapat diprediksinya kapan resesi ekonomi dapat diakhiri karena pandemi covid 19 sebagai penyebab utamanya belum dapat diprediksi kapan akan berakhir, justru Pilkada kita disepakati untuk dilanjutkan oleh Pemerintah, DPR RI dan KPU alasan utamanya adalah karena belum ada satupun ahli kesehatan dunia termasuk badan kesehatan dunia (WHO) memprediksi kapan pandemi covid 19 kapan dapat diakhiri, hal ini berkaitan dengan kepastian dan stabilitas pemerintahan di daerah. Sebab yang sama, namun menjadi pertimbangan yang berbeda pada lapangan yang berbeda, demokrasi dan ekonomi.

Dalam catatan penulis, Kemendagri mencatat total anggran Pilkada serentak 2020 untuk 270 daerah ditaksir mencapai 15 triliun Rupiah (Kompas.com, 7/2/2020). Sementara data berbeda disampaikan oleh Komisoner KPU Viryan Aziz, total biaya Pilkada serentak 2020 sebelum covid 19 untuk 270 daerah sebesar 9,9 trilun Rupiah, dengan asumsi nilai dari Pilkada tahun 2020 per pemilihnya sebesar 94.310 Rupiah (BeritaSATU, 20/6/2020), dan untuk anggaran tambahan dengan adanya tuntutan penerapan protokol kesehatan dikarenakan covid 19 dalam Pilkada 2020, KPU melalui ketuanya Arief Budiman meminta penambahan anggaran kepada pemerintah untuk Pilkada sebesar 4,7 triliun Rupiah (Kompas.com, 11/6/2020). Akumulasi total anggaran yang dibutuhkan oleh penyelenggraan Pilkada 2020 sebesar 14,6 triliun Rupiah, tidak jauh berbeda dengan total anggaran Pilkada 2020 yang diperkirakan oleh Kemendagri.

Melihat anggaran yang dibutuhkan dan harus disiapkan oleh pemerintah (dareah) untuk melaksanakan Pilkada tersebut, bukanlah angka yang kecil (murah) bila dirasakan dengan keadaan ekonomi kita yang sedang terancam resesi. Apalagi besar angka kebutuhan itu disesuaikan dengan kebutuhan daerah yang berbeda-beda, karena kondisi daerah dan jumlah pemilih yang juga berbeda. Biaya Pilkada yang harus ditanggung oleh masing-masing daerah itu menjadi tantangan tersendiri bagi daerah yang menyelenggarakan Pilkada, bagi daerah yang PAD nya kecil, SDA nya tidak terlalu bagus, kebutuhan biaya Pilkada-nya besar, itu akan menjadi “beban” tersendiri bagi pemerintah daerah yang bersangkutan.

Apalagi ditambah adanya wabah pandemi covid 19 yang sebelumnya tidak diprediksi akan terjadi yang juga dalam mengatasinya, pemerintah (daerah) harus mengeluarkan kocek yang tidak sedikit untuk anggaran kesehatan dan anggaran bantuan sosial penanggulangan covid 19, sementara disisi lain terjadi pelambatan pertumbuhan dan kontraksi ekonomi di masyarakat, yang tentu saja sangat berpengaruh bagi pendapatan pemerintah (daerah) untuk memenuhi kebutuhan dan keseimbangan pembiayaan penyelenggaraan pemerintah, termasuk ketersediaan anggaran untuk Pilkada.

Bahkan hingga tanggal 7/8/2020, menurut data Bawaslu RI masih terdapat 3 daerah yang transferan dana untuk Pilkada kurang dari 40 %, yaitu Kabupaten Waropen (37,33 %), Kota Bandar Lampung (36,84 %) dan Kabupaten Pegunungan Bintang (30,00 %). Hal ini bisa menjadi sesuatu yang tidak kondusif untuk pelaksanaan Pilkada di era pandemi covid 19 yang berada dititik nadir resesi ekonomi manakala pada batas waktu toleransi yang diberikan, ketersediaan anggran Pilkada tersebut belum juga dapat dipenuhi, padahal Pilkada 2020 ini mensyaratkan untuk dilaksanakan dengan protokol kesehatan yang ketat, dan untuk itu dibutuhkan anggran untuk menyediakan dan menyiapkan peralatan yang direkomendasikan sesuai protokol kesehatan penanganan covid 19.

Baca Juga Berita  Kapolres Belitung dan Kapolsek Badau diberi Penghargaan Komnas Perlindungan Anak

Mahalnya Pilkada 2020 ini bukan saja dilihat dari anggran fantastis yang harus disiapkan oleh Pemerintah (daerah) untuk penyelenggaraan Pilkada, tetapi juga “besaran anggaran” yang juga harus disiapkan dan dibelanjakan oleh para calon Kepala Daerah dalam pemenuhan kebutuhan kontestasinya. Fenomena perubahan dukungan parpol atau “terhimpunnya” sejumlah parpol yang memenuhi syarat untuk mengusung calon Kepala Daerah tertentu, mengindikasikan adanya “aroma mahar” yang cukup sulit untuk dibuktikan pada tahapan kandidasi di ruang yang gelap dan samar-samar, dan ini menjadi indikasi tersendiri tentang besarnya anggaran yang harus disiapkan oleh calon Kepala Daerah.

Indikator kedua yang bisa dijadikan renungan, apa yang menurut para ekonom sebagaimana kami tulis diatas, sebaiknya dalam memasuki masa resesi ekonomi yang diperkirakan masuk pada kuatal III, warga masyarakat disarankan untuk menyiapkan uang tunai atau dana likuid, timing-nya bersamaan dengan moment Pilkada, hal ini dapat ‘dimanfaatkan’ secara berbeda dengan dalih membantu masyarakat terdampak pandemi covid 19 dengan “money politic” untuk mempengaruhi keputusan politik pemilih dalam Pilkada. dan memang faktanya dalam situasi seperti ini, individu masyarakat sangat membutuhkan pertolongan agar bisa survive melangsungkan kehidupannya yang secara ekonomi semakin sulit.  

Bahkan tidak kurang, Ketua KPK Firli Bahuri, dalam suatu kunjungan kerja ke Pemprov Lampung baru-baru ini menyatakan kepada media, bahwa KPK Siap Kawal Pilkada serentak dalam Menciptakan Pilkada Bersih. Hal ini juga mendai indikator sekaligus warning bagi peserta kontestasi dan masyarakat daerah Pilkada agar “jangan main-main”.

Ketiga indicator tersebut dapat mengilustrasikan bahwa penyelenggaraan demokrasi meskipun diera resesi ekonomi dapat terjadi menjadi suatu moment politik yang mahal untuk memilih Kepala Daerah. Padahal disisi lain, tujuan dilaksankannya Pilkada untuk memilih Kepala Daerah yang akan menjalankan pemerintahan di daerah adalah untuk mensejahterakan masyarakatnya. Apakah sudah benar pilihan kita berdemokrasi untuk mensejahterakan rakyat dilakukan dengan cara atau biaya yang mahal.

Padahal tercatat sejumlah Kepala Daerah di Indonesia harus berurusan dengan aparat hukum, bahkan terpaksa berhenti ditengah jalan karena terlibat kasus korupsi. Ditengarai biaya Pilkada yang mahal tersebut menjadi asbab para Kepala Daerah terindikasi terlibat dalam kasus korupsi untuk mengembalikan biaya atau guna mempersiapkan dirinya ikut dalam kontestasi Pilkada di daerahnya.

Kita berharap dengan biaya mahal yang harus dikeluarkan oleh pemerintah (daerah) dengan menggunakan uang rakyat terlebih dimasa memasuki resesi ekonomi ini dapat menghasilkan Kepala Daerah yang baik dan berkualitas untuk nanti bisa bahu membahu bersama rakyat di daerahnya mengatasi kemungkinan resesi ekonomi yang yang belum bisa diprediksi kapan akan berakhirnya, semoga. (*)

Penulis: Wendy Melfa                                                                                                                   Pengasuh RuDem (Ruang Demokrasi)                                                            Editor : M.A. Saidi. SE

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here