JAKARTA - Sejalan dengan kemajuan perkembangan zaman pelaku Tindak Pidana Korupsi tidak lagi melakukan perbuatannya dengan cara yang konvensional dan sederhana, tetapi saat ini sudah menggunakan cara yang memanfaatkan perkembangan teknologi dan komunikasi.
Saat ini pelaku Tindak Pidana korupsi sudah berasal dari berbagai kalangan baik pegawai negeri maupun swasta, terkait dengan pelaku kejahatan ini muncul pula modus Tindak Pidana Korupsi dengan melakukan Pungutan Liar (Pungli) pada pelaksanaan program dan kebijakan pemerintah.
Dalam memaknai bahwa terhadap perbuatan Korupsi dengan modus melakukan perbuatan Pungutan Liar (Pungli) yang dilakukan oleh oknum Pegawai Negeri maupun Swasta penulis juga berpijak pada pentingnya melakukan terobosan hukum dimasa yang akan datang tentang bagaimana menjatuhkan pidana yang lebih berat kepada pelaku Tindak Pidana utamanya pelaku perbuatan Pungutan Liar (Pungli).
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa didalam ketentuan Pasal 12 huruf e UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2001, sanksi pidana yang dimuat adalah pidana penjara, dan denda. Jika dihubungkan dengan perbuatan oknum Pegawai Negeri yang melakukan perbuatan Pungutan Liar dengan sanksi yang dimuat dalam ketentuan Pasal 12 huruf e Undang - undang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimaksud, sekilas tampak bahwa penjatuhan pidana penjara dan denda saja kepada pelaku tidak dirasakan adil dari sisi masyarakat sebagai korban dari adanya Pungutan Liar (Pungli).
Terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi dengan modus melakuan Pungutan Liar (Pungli) saat dilakukan upaya penegakan hukumnya dengan menerapkan ketentuan Pasal 12 huruf e UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2001, namun dalam praktiknya dipersidangan nanti Penuntut Umum akan mengalami kesulitan dalam membuktikan adanya unsur “Memaksa” yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana
Penerapan ketentuan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2001 bertujuan pula untuk menimbulkan efek jera kepada pelaku (represif) dan mencegah timbulnya pelaku- pelaku tindak pidana lainnya dengan modus yang sama (preventif). Penerapan pasal ini berimplikasi pada dituntutkannya pidana tambahan berupa membebankan kepada pelaku tindak pidana untuk membayar uang penganti yang besarnya dapat ditentukan sebesar atau sejumlah uang yang telah dipungutnya secara melawan hukum dari masyarakat.
Upaya pemberatan hukuman dengan membebankan kewajiban untuk membayar uang pengganti kepada pelaku Tindak Pidana Korupsi dengan modus melakukan Pungutan Liar (Pungli) yang besarnya sejumlah uang yang dipungutnya secara melawan hukum dari masyarakat, selain dapatmenimbulkan efek jera karena adanya pemberatan pidana yang dijatuhkan sejalan dengan konsep “Memiskinkan koruptor”
Saksi selaku pemberi uang dalam kasus Pungutan Liar (Pungli) sebagai Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 12 huruf (e) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Atas Perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara hukum tidak dapat ditetapkan menjadi Tersangka memberi suap atau hadiah, karena Saksi selaku pihak yang memberikan uang kepada Tersangka (pelaku pungli) sama sekali tidak punya inisiatif atau niat jahat (mens rea) melainkan karena terpaksa, dimana Tersangka pelaku pungli berada dalam posisi lebih dominan dengan menggunakan kedudukan atau kekuasaan yang ada padanya.
Dalam persidangan Penuntut Umum sering kali tidak mampu membuktikan unsur “memaksa” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 12 huruf (e) tersebut, sehingga dalam surat tuntutannya Penuntut Umum menjerat Tersangka/Terdakwa dengan menggunakan Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Atas Perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Padahal kedua tindak pidana tersebut merupakan 2 (dua) hal yang berbeda. Penulis : Juli Antoro Hutapea/ Prayoga (red)
Peraturan Perundang-undangan :
- Undang -Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
- UU. RI Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
- UU. RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak PidanaKorupsi jo. UU. RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU. RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
- Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : PER- 039/A/JA/10 2010 tentang Tata Kelola Administrasi dan Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus.















