Strategi APBN Di Tengah Bencana Covid-19 Dan Risiko Resesi Ekonomi Global

0
1216
Listen to this article

JAKARTA – Bincang pagi yang merupakan kerja sama Direktorat Jenderal Anggaran dan Perpustakaan Kementerian Keuangan ini menghadirkan Direktur Jenderal Anggaran, Askolani dan Ekonom Nasional, Chatib Basri. Acara ini diikuti kurang lebih 2.366 peserta dari seluruh Indonesia. Pada hari Selasa, 21 April 2020 dilaksanakan Bincang Pagi yang dilakukan secara online

Pandemi COVID-19 semakin luas penyebarannya ke seluruh dunia dengan lebih dari 2 juta kasus dan 170 ribu kematian. Data pada tanggal 20 April 2020 mencatat bahwa di Indonesia terdapat 6.670 orang yang dinyatakan positif COVID-19 yang tersebar di 34 Provinsi. Pandemi Covid-19 berdampak pada pertumbuhan ekonomi global di 2020 yang diproyeksi akan terkontraksi. Dampak yang terasa oleh Indonesia antaraa lain: penurunan daya beli masyarakat, penundaan dan penurunan investasi, penurunan ekspor-impor, gangguan kinerja dunia usaha, hingga stabilitas sektor keuangan yang terganggu.

Ekskalasi Pandemik Covid-19 yang sangat cepat membuat pemerintah mengambil langkah luar biasa untuk mengatasi gangguan kesehatan dan penyelamatan perekonomian. Pemerintah kemudian mengeluarkan Perppu No 1 tahun 2020 yang menjadi dasar untuk melakukan pergeseran dan refocussing anggaran serta penyesuaian batasan defisit APBN. Langkah ini diambil untuk mempercepat penanganan Pandemik Covid-19 yang tentunya dengan tetap memperhatikan tata kelola yang baik.

“Perppu tersebut memungkinkan pemerintah mencadangkan dana yang lebih besar untuk penanganan Covid-19 khususnya dibidang kesehatan, kemanusiaan, dan kemudian pada bidang yang terdampak yakni sosial, ekonomi, serta sektor keuangan” , ucap Direktur Jenderal Anggaran, Askolani.

Baca Juga Berita  Dalam 24 Jam, Dua Pelaku Curat 4 TKP di Sungai Nibung Berhasil Diungkap Polisi

Pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 405,1 T untuk mengatasi dampak Covid-19 di Indonesia. Sejauh ini, stimulus ekonomi yang dilakukan pemerintah jumlahnya sebesar 2,5% PDB Indonesia. Jika dibandingkan dengan negara-negara di dunia, terdapat beberapa negara yang lebih besar dukungan fiskalnya yaitu : Australia (10,9% PDB), Singapura (10,9% PDB), Amerika Serikat (10,5% PDB), dan Malaysia (10% PDB). Terdapat juga negara yang dukungan fiskalnya lebih rendah dari Indonesia yaitu : Perancis (2% PDB), Italia (1,4% PDB), Tiongkok (1,2%) dan Spanyol (0,7%). Tentunya tujuan dari dukungan fiskal yang diberikan pemerintah Indonesiat tersebut difokuskan untuk penangangan kesehatan, social safety net masyarakat, dan kestabilan ekonomi.

“Ini yang mohon di pahami bahwa (pandemi) ini bukan hal yang biasa, betul betul extraordinary dan dampaknya kepada dunia, kepada kesehatan, kepada sosial, kepada ekonomi, dan sektor keuangan. Penanganannya juga diupayakan bukan hanya untuk tahun 2020 (jangka pendek) tetapi juga untuk satu atau dua tahun kedepan”. ungkap Askolani.

Jika dibandingkan, kondisi ekonomi saat ini sangat berbeda dengan krisis keuangan global yang terjadi tahun 2008. Pemerintah dapat relatif lebih mudah dalam mengatasi krisis tersebut dibanding mengatasi pandemik Covid-19 ini. Hal ini dikarenakan sumber krisis keuangan global pada waktu itu adalah karena Subprime Mortgage dari Amerika yang berdampak pada perdagangan Indonesia. Pemerintah mengeluarkan stimulus fiskal yang difokuskan untuk domestik untuk mendorong daya beli masyarakat sehingga Indonesia termasuk negara yang berhasil tumbuh paling tinggi di dunia.

Baca Juga Berita  Winarti Harap Petambak Dapat Gotong Royong Untuk Maju dan Sejahtera.

Tetapi saat ini situasinya berbeda karena pandemi Covid-19 ini merupakan kombinasi demand shock dan supply shock. Demand shock adalah berkurangnya permintaan terhadap produk Indonesia dari Tiongkok dan akan mempengaruhi pendapatan negara. Sedangkan supply shock adalah berkurangnya produk yang diproduksi Tiongkok yang akan mempengaruhi produksi global. Hal tersebut diperparah dengan berhentinya produksi karena pembatasan sosial berskala besar untuk mencegah penularan Covid-19 yang dapat mempengaruhi pasar.

Maka dari itu, kebijakan fiskal yang dikeluarkan pemerintah harus sangat hat-hati dan tidak bisa kita lakukan seperti tahun 2008. Itu sebabnya, yang dilakukan oleh pemerintah dengan Perppu kemarin sudah sangat pas dengan kondisi saat ini”, jelas Chatib Basri

Dengan berbagai kebijakan stimulus fiskal yang dikeluarkan pemerintah untuk penanganan pandemi Covid-19, diharapkan dampak yang dirasakan masyarakat dapat berkurang. Namun, kebijakan tersebut akan lebih optimal untuk menghentikan rantai penyebaran Covid-19 jika masyarakat dapat disiplin dalam mengikuti anjuran pemerintah dengan beraktivitas dirumah dan menjaga jarak aman. (amk/red)

Berita ini bersumber dari:http://www.anggaran.kemenkeu.go.id/dja/edef-konten-view.asp?id=1502

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here